SANG PENYELAMAT NYAWA

Sang Penyelamat Nyawa

Oleh : Ahmad Ariska Purnama Putra

Dalam butiran air mata mengalir jutaan doa

Meyelamatkan ketidak mampuannya

Dikala guyuran air mata terdapat sungai amat jernih

Didalamnya berkumpulan ikan-ikan dengan sebuah harapan

Memeliharanya bukanlah hal yang menjijikkan

Tetapi amatlah menakjubkan……..

Sedih dengan kesendirian menyelimuti hari-harinya..

Akankah aku seperti rasulullah… ?

Akankah aku seperti sayyidina ali … ?

Yang mempunyai jiwa pelindung

Melindungi seperti goa tsur

Melindungi seperti rumah ashabul kahfi

Kasih sayang diberikan

Melebihi lautan yang penuh karang

Bahkan jika kita tulis…

Jika laut dijadikan tinta dan daun dijadikan kertasnya

Tidaklah cukup menulis kasih sayangnya…..

Jika kita dengar lantunan doanya

Jika kita dengar ucapan suaranya

Maka istri,anak, dan para saudaranya tidaklah cukup

Untuk memenuhi doa dengan perasaan ikhlas

Malaikat-malaikat datang dengan kabar gembira

Dan bersenandu….

Merekalah yang memberi keberuntung, kemuliaan, kekuatan, kasih sayang

ARTIKEL-MENYIAPKAN GURU YANG BERKUALITAS DENGAN PENDEKATAN MICRO TEACHING

Agnes Ika Nurlaili
IAIN TULUNGAGUNG
agnesikanurlaili@yahoo.com

ABSTRACT
Untuk mempersiapkan diri menjadi guru berkualitas dibutuhkan paling sedikit 10 kompetensi profesional yang kemudian dapat dirangkum menjadi dua kompetensi utama yaitu penguasaan bahan pelajaran dan dapat mengajarkan bahan tersebut secara jelas dan menarik. Untuk membantu menerapkan kompetensi profesional itu di kelas, penulis mengusulkan penggunaan pendekatan micro teaching.

Kata kunci : Guru, mutu, mengajar, penguasaan bahan ajar

PENDAHULUAN
Kualitas guru sampai saat ini tetap menjadi persoalan yang penting (crucial ). Menjadi persoalan yang crucial oleh karena pada kenyataannya keberadaan guru di berbagai jenjang, dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas oleh sebagian kalangan dinilai jauh dari performa yang distandarkan. Seorang Yohanes Surya (pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia atau TOFI yang juga Guru Besar Universitas Pelita Harapan) pun melihatnya begitu. Demikian juga dengan pendapat Dodi Nandika (Kepala Balitbang Depdiknas), kualitas guru menjadi persoalan yang serius di negeri ini. Penilaian kedua tokoh itu tidaklah berlebihan. Hal itu didasarkan pada hasil tes Trend in International Mathematics and Science Study (TIMMSS) 2003. Hasil tes itu menempatkan siswa Indonesia di peringkat 34 penguasaan matematika dan peringkat 36 penguasaan sains dari 48 negara yang disurvei.
Peringkat itu jauh tertinggal dari negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Singapura berada di peringkat pertama, baik matematika maupun sains, Malaysia peringkat 10 bidang matematika dan peringkat 20 bidang Sains (Republika, 24 Desember 2004).
Rendahnya kemampuan anak didik pada mata pelajaran matematika dan sains memang tidak terlepas dari kemampaun/kualitas guru dalam mengajar siswanya, dan minimnya ketersediaaan sumber-sumber belajar. Keadaan yang demikian itu sudah barang tentu sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Akibat lebih jauh, lulusan dari berbagai jenjang pendidikan tidak memenuhi harapan. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah, misalnya dengan penataran, pembekalan, seminar, diskusi, sampai penelitian yang intinya bertujuan meningkatkan kualitas guru.
Melalui artikel ini penulis ingin menyampaikan gagasan-gagasan yang mungkin dapat berguna untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia. Seperti judul artikel, “Menyiapkan Guru Yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching”, maka pembahasannya difokuskan pada beberapa pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana mempersiapkan diri menjadi guru? Bagaimana kriteria guru yang berkualitas? Bagaimana konsepsi micro teaching? Prasyarat apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan micro teaching? Bagaimana aplikasi micro teaching? Adakah manfaat micro teaching secara lebih luas? Seperti apa contoh rencana pelajaran micro teaching?

KAJIAN TEORI
Persiapan Diri Menjadi Guru
Secara akademik jika seseorang ingin menjadi guru ia harus menempuh pendidikan keguruan. Guru TK dan SD masuk ke PGSD, guru SMP dan sekolah lanjutan atas masuk FKIP atau IKIP (sudah melebur di dalam universitas). Akan tetapi mereka yang lulusan universitas dengan disipilin ilmu murni,misalnya kimia, dapat menjadi guru dengan syarat sudah menempuh program Akta IV.
Namun demikian persiapan menjadi guru tidak semata-mata melalui jalur pendidikan formal. Faktor internal yang ada di dalam diri seseorang juga mempengaruhi kesuksesan orang menjadi guru. Kesuksesan bukan dalam arti kaya secara duniawi, melainkan kesuksesan karena ia benar-benar menjadi seorang guru yang berkualitas (profesional) ditinjau dari berbagai aspek. Jika faktor internal seperti motivasi dan bakat sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang menjadi guru, maka tesis yang dikemukan oleh James Phopam dalam bukunya “Bagaimana Mengajar Secara Sistematis”, bahwa guru itu dilahirkan bukan dibentuk seolah menjadi pembenaran. Lebih lanjut dikemukakan, tidak setiap guru membutuhkan pertolongan. Beberapa orang memang benar-benar dilahirkan sebagai guru. Termasuk di dalam golongan ini adalah, orang-orang yang tidak pernah memikirkan bagaimana caranya mengajar. Meskipun demikian orang-orang semacam itu tidak banyak memerlukan pertolongan dalam memperbaiki pengajaran. Mereka sungguh-sungguh boleh dikatakan sebagai guru-guru yang berbakat; tidak diragukan lagi mereka itu mampu memberi inspirasi.
Dalam konteks ini dapat dianalogikan, meskipun seseorang sudah menempuh pendidikan keguruan baik itu program diploma atau S1, namun setelah terjun di dalam kelas tidak menunjukkan performance yang cukup memadai. Secara materi ia mampu menguasai, namun tidak cukup terampil untuk menyampaikan materi dengan jelas, menarik sehingga mudah dimengerti oleh siswa.

Kriteria Guru yang Berkualitas
Seorang guru yang ideal menurut Uzer Usman (1992) mempunyai tugas pokok yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki kompetensi. Dalam profesi keguruan kita mengenal istilah kompetensi. Kompetensi itulah yang digunakan untuk menilai apakah seorang guru berkualitas atau tidak. Ada tiga kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu: (1) kompetensi personal, (2) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi profesional.
Kompetensi personal lebih menunjukkan pada kematangan pribadi. Di sini aspek mental dan emosional harus benar-benar terjaga. Kompetensi sosial lebih menunjukkan pada kemampuan guru untuk berelasi, berinteraksi. Guru memperlihatkan keluwesan dalam pergaulan dengan siswa, kepala sekolah, dan juga teman sejawat di tempat ia mengajar. Guru bisa menciptakan persahabatan yang baik. Keberadaannya memberi manfaat yang positif. Sedangkan kompetensi profesional lebih menunjukkan pada kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik.
Raka Joni (1979) berdasarkan Komisi Kurikulum Bersama P3G menetapkan dan merumuskan bahwa kompetensi profesional guru di Indonesia terdiri atas 10 kompetensi, yakni: (1) menguasai bahan pelajaran; (2) mengelola program pembelajaran; (3) mengelola kelas; (4) menggunakan media dan sumber belajar; (5) menguasai landasan pendidikan; (6) mengelola interaksi belajar mengajar; (7) menilai prestasi belajar; (8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan dan penyuluhan; (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
Dari kesepuluh kompetensi profesional itu menurut hemat penulis dapat dirangkum menjadi dua kompetensi yang paling utama, yaitu menguasai bahan pelajaran dan dapat mengajarkannya dengan jelas dan menarik. Kedua kompetensi inilah dalam kondisi objektif belum terpenuhi. Mungkin kita pernah mendengar komentar, “Si guru A itu hebat benar penguasaan materinya tetapi tidak bisa mengajar”, atau sebaliknya, “Si guru B itu pandai mengajar tetapi minim penguasaan materi”.

Konsepsi Micro Teaching
Harus diakui bahwa tidak banyak referensi atau buku-buku yang membahas secara khusus tentang konsepsi micro teaching. Tetapi secara singkat dapat diungkapkan di sini, micro teaching merupakan latihan mengajar yang diorganisasi di mana ada yang berperan sebagai guru dan lainnya sebagai siswa dalam kelas. Setiap pelaksanaan mengajar direkam supaya dapat dilihat kembali dan dievaluasi cara mengajarnya. Micro teaching dilakukan di dalam sebuah ruangan yang dilengkapi dengan berbagai alat/barang yang diperlukan.
Prinsip pelaksanaan micro teaching dapat dijelaskan sebagai berikut: guru/calon guru mengajar di area mengajar. Selama proses itu segala aktivitas guru/calon guru direkam oleh kamera video. Pastikan bahwa gambar dan guru dapat terekam dengan jelas. Pihak pengamat, dalam hal ini kepala sekolah, bagian SDM, guru senior yang ditunjuk dapat memperhatikan penampilan guru/calon guru dengan menempatkan diri di kursi dan meja yang telah tersedia. Sekali-sekali pengamat dapat bertanya, berdiskusi dengan guru/calon guru supaya proses mengajar lebih hidup. Speaker dapat ditambahkan sepanjang memang dibutuhkan agar suara guru terdengar lebih keras.
Setelah selesai, hasil rekaman dapat di diputar kembali (playback) dengan memanfaatkan tv monitor (7). Pada sesi ini calon guru/calon guru dapat melihat kembali penampilannya selama mengajar. Sedangkan pengamat memberi penilaian, menyampaikan kelebihan dan kekurangannya. Di sinilah menjadi titik penting untuk melihat, mengevaluasi, memberi pendapat terhadap kelebihan dan kekurangan guru/calon.
Dengan demikian micro teaching dapat dijadikan sebuah pendekatan baru yang inovatif dan aplikatif untuk mempersiapkan performance guru agar lebih kapabel.

Prasyarat yang Dibutuhkan untuk Melaksanakan Micro Teaching
Prasyarat utama yang dibutuhkan agar micro teaching dapat berjalan adalah, tersedianya sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan kamera video, recorder, mic, penerangan yang cukup. Ukuran ruangan tidak ada standar yang baku. Ukuran ruangan bisa antara 8 m x 6 m, atau 8 m x 7 m.
Selanjutnya tersedianya sejumlah sarana lainnya layaknya sebuah ruang kelas. Ada white board, meja dan kursi, OHP kalau memang diperlukan. Dari sisi SDM, memerlukan seorang teknisi atau operator dan sekaligus bertindak sebagai kameraman. Penguasaan teknis rekaman video/audio menjadi prasyarat mutlak. Karena sekarang era komputer, dan hasil rekaman selalu dalam bentuk VCD, maka teknisi itu juga harus terampil memadukan antara kamera video dan komputer agar menjadi sebuah sistem yang berdaya guna.
Jika setiap sekolah atau yayasan pedidikan memiliki pendekatan model micro teaching dan efektif dalam pelaksanaannya, maka institusi tersebut sudah satu langkah di depan dibandingkan lembaga pendidikan lainnya yang belum punya. Keberadaan dan operasionalnya dapat dikelola oleh unit, bidang, atau pusat sumber belajar.

Aplikasi Micro Teaching
Di atas penulis sudah mengemukakan garis besar aplikasi micro teaching. Untuk mempertegas kembali penulis akan menyampaikan secara lebih rinci.
Aplikasi micro teaching dapat berangkat dari sebuah recruitment calon-calon guru. Umpama seorang calon guru sudah lulus tes awal, wawancara,dan psiko test. Tetapi ketiga tahapan itu masih mengandalkan hasil tertulis. Menurut hemat penulis itu belumlah cukup. Calon guru harus juga lulus tes mengajar. Calon guru diminta mengajar di ruang micro teaching. Ia harus benar-benar berperan sebagai guru yang memang sedang mengajar di dalam kelas. Kalau perlu guru diminta untuk membuat kerangka pengajaran. Di sinilah kemampuan mengajar calon guru dipertaruhkan.
Aplikasi lainnya dapat juga berangkat dari keprihatinan atas kemampuan mengajar guru. Ini berarti semacam in job training. Guru-guru, baik yang senior maupun yunior perlu penyegaran/peningkatan keterampilan mengajarnya. Mereka dapat menilai sendiri apakah kemampuan mengajarnya yang selama ini mereka “pertotonkan” di depan kelas sudah cukup memadai atau belum. Ini juga memberi pernyataan yang tajam agar para guru tidak mengklaim bahwa penampilan mengajarnya sudah yang terbaik.

Garis Besar Pelaksanaan Micro Teaching
Sebelum melaksanakan micro teaching ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Berdasarkan sumber yang ada disebut dengan istilah Micro Teaching Lesson Plan. Dalam rencana ini disebutkan kesiapan-kesiapan seputar: (1) Peralatan dan bahan. Termasuk di dalamnya transparansi dan OHP, laptop dengan LCD proyektor, layar, spidol, flip chart; (2) Rencana pelajaran. Anda harus lebih fokus untuk persiapan ini. Termasuk di dalamnya perumusan tujuan pelajaran, pengaturan prosespelajaran, partisipasi yang diharapkan, alat bantu/media, dan penutupan micro teaching; (3) Presentasi. Anda dapat meminta pertolongan orang lain untuk mengatur kelas. Tersedia waktu 10 menit untuk presentasi. Jika ternyata melebih waktu yang tersedia, Anda tetap diizinkan menyelesaikan pelajaran Anda; (4) Orientasi. Tahapan ini fokus pada evaluasi yang dilakukan setelah presentasi. Anda dapat mengevaluasi keterampilan Anda, yang meliputi: penampilan, cara/metode, keantusiasan, kontak mata dengan siswa, penggunaan visual, partisipasi aktif kelas, hal-hal yang tidak diharapkan tetapi terjadi (lampu OHP padam, interupsi, dll), modulasi suara, intonasi yang bagus tidak datar.
Secara tegas dapat disebutkan di sini, aspek-aspek yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaan micro teaching adalah presentasi (volume dan kejelasan suara, kecepatan dan kejelasan ucapan, kontak mata ke kelas, semangat dan keantusiasan); the chalkboard (besar kecil tulisan dan kejelasan tulisan, pengorganisasian materi, penggunaan media pembelajaran, pengaturan waktu, posisi badan; isi (penguasaan materi, perencanaan topik, kesesuaian penjelasan dengan hal-hal yang telah dirumuskan secara detil, ketergantungan dengan catatan-catatan); dan interaksi kelas (respon terhadap pertanyaan, reaksi terhadap pertanyaan).

Manfaat Micro Teaching Secara Lebih Luas
Penerapan micro teaching tidak hanya terbatas pada tujuan mencari calon guru yang dapat mengajar dengan baik dan upaya mendorong (encourage) terhadap guru-guru untuk selalu meningkatkan performance-nya. Tetapi masih dapat digunakan dengan tujuan-tujuan lain.
Pendekatan micro teaching dapat dimanfaatkan untuk mencari seorang guru menjadi model dalam mengajar. Guru yang dijadikan model memang sudah diakui keandalannya dalam mengajar. Namun demikian tidak harus semua bidang studi ada seorang model guru. Tentukan bidang studi yang dianggap harus ada guru model. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk mengajar tanpa kehadiran guru. Misalnya guru mengajar bidang studi x dengan pokok bahasan y, proses mengajarnya direkam. Jika suatu saat guru itu berhalangan, guru pengganti atau guru piket dapat memutar ulang rekaman itu. Siswa tinggal melihat dan mendengarkan. Materi pengajaran yang disampaikan dengan metode eksperimen, demonstrasi atau ceramah sangat cocok. Masih banyak manfaat lain dari kehadiran micro teaching, tergantung daya kreatif dari orang-orang atau unit yang mendapat tugas untuk
mengelolanya.

PENUTUP
Pendekatan micro teaching ditujukan untuk pembentukan profesionalitas guru. Sasaran yang hendak dicapai adalah, guru/calon guru supaya memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap serta tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya dalam tugas dan perannya di sekolah. Dengan pendekatan micro teaching guru/calon guru berlatih mengajar secara terbatas (isolated skill development), namun tetap mengajar yang sesungguhnya secara diawasi (supervised teaching), sebelum mengajar yang sesungguhnya secara penuh (fullresponsibility teaching).
Pendekatan micro teaching memberi kesempatan seluas-luasnya bagi guru/calon guru untuk mengeksplorasi semua kelebihannya, memberi kesempatan untuk mengukur kemampuannya. Mereka dapat mengevaluasi diri dan mengetahi, sejauh mana kemampuan dan penampilannya.

DAFTAR RUJUKAN
Gordon, Thomas.1990. Guru yang efektif, Jakarta : Rajawali
Phopam, James dalam Sinurat.1981. Bagaimana mengajar dengan sistematis, Yogyakarta : Kanisius
http://filebox.vt.edu/users/cecraig/portweb/islamunit/microref.htm diakses pada 20 Desember 2014
http://www.uns.ac.id/resources/ppl/ diakses pada 20 Desember 2014
http://www.ussoccer.com/ diakses pada 20 Desember 2014
Soetjipto (1994). Profesi keguruan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Helmiati.2013.Micro Teaching Melatih Keterampilan Dasar Mengajar,Yogyakarta: Aswaja Pressindo

ARTIKEL-PENDIDIKAN MORAL BAGI ANAK DIDIK DI ERA GLOBALISASI

Rita Pusvitasari
IAIN Tulungagung
Email: rita_rlc19@yahoo.co.id

Abstrak

Di era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan perubahan dan tekanan dalam kehidupan. Pengaruh globalisasi setidaknya telah merusak watak dan karakter anak didik yang cenderung mengabaikan pendidikan moral. Tujuan ideal pendidikan tidak sekedar membentuk anak didik yang cerdas dan memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas, tetapi berupaya membentuk anak didik memilki moral sehingga memiliki kepribadian luhur sesuai dengan karakter bangsa.
Kata Kunci: pendidikan moral, anak didik, era globalisasi.

PENDAHULAN

Di tengah gempuran modernitas yang mengungkung kepribadian generasi muda, diharapkan peranan pendidikan di berbagai daerah agar tetap fokus pada pembentukan karakter, kepribadian, dan akhlak yang mencerminkan filosofi pendidikan Islam dan pendidikan Nasional. Pengaruh modernitas setidaknya telah merusak watak dan karakter anak didik yang mengalami perubahan secara drastis sehingga menghasilkan generasi yang tidak mampu menghadapi benturan budaya global. Di kalangan generasi muda, pendidikan berbasis moral tidak lagi menjadi orientasi utama, bahkan tidak jarang dikesampingkan dalam dunia kita. Pengaruh globalisasi membuat pendidikan moral mengalami kemerosotan sehingga bisa berimplikasi pada kedangkalan dalam memahami ajaran agama.
Merosotnya pendidikan moral disebabkan oleh pengaruh globalisasi yang penuh dengan kebebasan dan melahirkan kemajuan dari sisi kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi berdampak pada pergeseran nilai yang mempengaruhi tatanan nilai kehidupan dalam jiwa anak. Oleh karena itu, apabila anak didik tidak dibekali dengan ajaran agama yang kuat berkibat fatal terhadap kematangan jiwa dan mental dalam mengambil keputusan di kemudian hari. Pengembangan pendidikan moral tidak hanya di lingkungan sekolah semata, tetapi juga harus sinergis dengan pembinaan yang ada di lingkungan keluarga sebagai pendidikan pertama yang memilki peranan signifikan bagi pembentukan kepribadian anak. Pendidikan tidak semata-mata berperan penting dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga mentransfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan.
Artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menjelaskan pendidikan moral bagi anak didik era globalisasi. Tujuan tersebut dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus sebagai berikut (1) pengaruh globalisasi terhadap perkembangan moral di era globalisasi, (2) implementasi pendidikan berbasis moral di era globalisasi, (3) konsep pengembangan pendidikan perspektif Islam dalam konsep tarbiyah.
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PERKEMBANGAN MORAL DI ERA
GLOBALISASI

Menurut J.M. Nas, globalisasi dapat dipahami sebagai reaksi dan elaborasi terhadap dua gejala sosiologis yang sekarang terjadi, yaitu berkembangnya the world system and modernization. Globalisasi akan melahirkan gejala budaya global yang mencakup tingkat Internasional sehingga akan terjadi benturan peradaban yang berdampak pada pergeseran nilai.
Faktor pendukung utama arus globalisasi adalah teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu, globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya. Akibat globalisasi tentunya membawa pengaruh terhadap suatu negara termasuk Indonesia, khususnya terhadap perkembangan moral bangsa Indonesia. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam cara berpakaian, selera makan. Yang lebih memprihatinkan adalah pergaulan bebas antar remaja. Seperti yang diberitakan oleh Triono pemerhati masalah remaja dan Staf Pengajar FISIP UMPTB Menggala, menyatakan bahwa sebanyak 28,8 persen remaja Bandar Lampung melakukan seks bebas sehingga membuat mereka berpotensi terserang Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Pengaruh negatif globalisasi yang berkaitan dengan perkembangan moral bangsa Indonesia, diantaranya dalam bidang budaya dan sosial, banyak dikalangan remaja telah hilang nilai-nilai nasionalisme bangsa kita, misalnya sudah tidak kenal sopan santun, cara berpakaian, gaya hidup mereka cenderung meniru budaya barat, dan munculnya sikap individualisme yang kurang peduli terhadap orang lain sehingga sikap gotong royong semakin luntur.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERBASIS MORAL DI ERA GLOBALISASI

Dalam UUSPN Tahun 2003 yang tercantum dalam bab II, pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional yang dijelaskan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan kemampuan serta membentuk watak, dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah-tengah masyarakat dunia. Sementara pada pasal 4, menjelaskan tujuan pendidikan, yang mana pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakul karimah, sehat, berilmu, cakap, kretif, mandiri, serta menjadi negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Signifikasi pendidikan bagi anak didik dapat diaplikasikan melalui berbagai upaya. Pertama, melalui konsep dasar pendidikan yang memuat nilai-nilai universal berupa penghayatan dalam memahami makna substansial ajaran agama. Kedua, melalui proses transformasi, dalam artian pendidikan menstransformasikan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lain. Pendidikan akan membentuk pribadi kreatif yang menjadi penggerak dan pengembangan jaringan kebudayaan ruang setempat ia hidup. Moral dalam pendidikan Islam merupakan landasan fundamental bagi seseorang untuk bersikap, bertindak, dan berbuat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Nilai-nilai di sini dapat berupa kejujuran dan tanggumg jawab yang merupakan nilai mutlak dan dimiliki setiap orang.
Strategi pendidikan ilahiah (agama) mejadi acuan fundamental bagi pengembangan nilai insani merupakan upaya aplikatif untuk menuju pendidikan yang lebih proporsional. Oleh karena itu, pendidikan berbasis nilai-nilai moral di lembaga sekolah harus diorientasikan pada hal-hal sebagai berikut. Pertama, dengan merevisi prosesnya yaitu menciptakan nuansa keagamaan yang lebih dominan. Dalam konteks ini, sekolah harus bisa menciptakan iklim kondusif untuk menumbuhkan nilai-nilai keagamaan yang berlandaskan pada pemahaman ajaran agama itu sendiri. Sebagai contoh, memperkuat persaudaraan, saling menghormati, saling menghargai, tidak sombong, nuansa dzikir, dan selalu ingat pada Sang Pencipta. Kedua, berupaya melakukan perubahan dalam sistem evaluasi belajar, yang pada mulanya, didasarkan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan, sudah saatnya diarahkan ke arah penilaian afektif, yaitu penilain sikap dan moral.

KONSEP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PERSPEKTIF ISLAM DALAM KONSEP TARBIYAH

Istilah tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara, menjaga, dan membina semua ciptaannya termasuk manusia, binatang, dan tumbuhan. Manusia sebagai ciptaan Allah, mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan proses pendidikan karena Ia berperan sebagai pendidik Yang Maha Agung di muka bumi. Tujuan pendidikan bukan kepentingan untuk Tuhan, melainkan semuanya ditunjukkan untuk kepentingan manusia agar mendapat bimbingan dalam melaksanakan proses pendidikan di dunia. Konsep tarbiyah dalam makna pendidikan Islam lebih menekankan pada upaya pembentukan manusia agar menjadi generasi yang berkualitas dan berkepribadian luhur. Bimbingan dalam tarbiyah diarahkan pada pembentukan tuntutan bagi pembentukan sikap dan perilaku yang baik hingga anak didik dapat menemukan jalan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan pengayoman difokuskan pada upaya melindungi anak didik secara fisik maupun kejiwaan.
Bentuk bimbingan dan pengayoman dapat melalui proses pendidikan yang dijalankan, yaitu dengan tetap berupaya mengembangkan potensi fitrah anak didik sesuai dengan minat dan bakat yang terpendam di dalamnya sehingga ia menjadi generasi yang mampu memberikan pencerahan bagi kemajuan bangsa di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan dalam konsep tarbiyah lebih menekankan pada pembentukan nilai-nilai kasih sayang, yang mencerminkan kasih sayang orang tua kepada anaknya. Berangkat dari konsep ini, tergambar jelas bahwa pendidikan Islam sama sekali tidak mempertontonkan tindak kekerasan, baik berupa hukuman fisik, pelecehan, maupun kata-kata kasar terhadap anak didik.
Dalam Al-Quran dijelaskan, terutama dalam tafsir surah Lukman ayat 13-14, yang banyak membicarakan tentang bimbingan orangtua terhadap anaknya berupa nasihat-nasihat yang mendidik dalam memberikan pencerahan bagi pembentukan nilai-nilai kasih sayang. Dari ayat tersebut, Allah menjelaskan cara menetapkan akidah kepada anak, bertauhid, mengesakan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu selain Allah swt. Allah mengingatkan betapa penting dan dominan peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai tauhid dalam diri anak-anak. Oleh karena itu, orangtua mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam menunjang tercapainya proses kependidikan yang berkaitan langsung dengan pengembangan fitrah manusia. Abdurrahman An-Nahlawi menjabarkan konsep tarbiyah menjadi empat unsur, yaitu: (1) memelihara pertumbuhan manusia, (2) mengarahkan perkembangan fitrah manusia agar mencapai kesempurnaan, (3) mengembangkan potensi insani (sumber daya manusia) untuk mencapai kualitas terbaik, (4) melaksanakan usaha-usaha secara bertahap sesuai dengan perkembangan anak.

PENUTUP

Kesimpulan
Pengaruh globalisasi bagi anak didik dalam dunia pendidikan, tentu menjadi penyebab merosotnya pendidikan moral di tengah-tengah kehidupan mereka. Sebab, globalisasi secara tidak langsung menghadirkan gejala budaya dan peradaban bangsa yang sangat intens dan berkelanjutan, yang pada gilirannya berdampak pada pola hidup mereka secara keseluruhan. Misalnya, sudah tidak kenal sopan santun, cara berpakaian, gaya hidup mereka cenderung meniru budaya barat, dan munculnya sikap individualisme yang kurang peduli terhadap orang lain sehingga sikap gotong royong semakin luntur.

Pendidikan berbasis nilai-nilai moral di lembaga sekolah harus diorientasikan pada hal-hal sebagai berikut. Pertama, dengan merevisi prosesnya yaitu menciptakan nuansa keagamaan yang lebih dominan. Dalam konteks ini, sekolah harus bisa menciptakan iklim kondusif untuk menumbuhkan nilai-nilai keagamaan yang berlandaskan pada pemahaman ajaran agama itu sendiri. Sebagai contoh, memperkuat persaudaraan, saling menghormati, saling menghargai, tidak sombong, nuansa dzikir, dan selalu ingat pada Sang Pencipta. Kedua, berupaya melakukan perubahan dalam sistem evaluasi belajar. Pada mulanya, didasarkan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan, sudah saatnya diarahkan ke arah penilaian afektif, yaitu penilaian sikap dan moral.
Pendidikan dalam konsep tarbiyah lebih menekankan pada pembentukan nilai-nilai kasih sayang, yang mencerminkan kasih sayang orang tua kepada anaknya. Peran orangtua sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, saling menghormati antar-sesama, dan saling memberikan semangat demi kebaikan bersama.

Saran
Orangtua memiliki peluang yang besar dalam mendidik anaknya dalam menunjang tercapainya proses kependidikan moral. Orangtua disini tidak hanya orangtua kandung, namun orang dewasa yang berada di sekeliling anak dan memberikan peran yang berarti dalam kehidupan anak.
Daftar Rujukan

An-Nahlawi, Abdurrahman. 1967. Ushul at Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi a-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Maksum, Ali dan Rahendi, Luluk Yunan. 2004. Paradigma Pendidikan Universal; di Era Modern dan Posmodern, Mencari”Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan kIta. Yogyakarta: IRCiCod.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah.Yogyakarta: Sippress.
Nas, J.M. 1900. “ Global, National, and Local Perspectivess: Introduction”, dalam Peter J.M. Nas, Globalization, Localization, and Indonesian. Leaden: KITLV.
Triono. 2009. Pemerhati Masalah Remaja dan Staf Pengajar FISIP UMPTB Menggala. Diunduh di http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/23/mari-membangun-karakter-bangsa-melalui-olah-pikir-olah-hati-olah-raga-olah-rasa-dan-karsa.htm tanggal 10 Desember 2014

ARTIKEL-MEDIA PEMBELAJARAN SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN

MEDIA PEMBELAJARAN SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN

Siti Hartatik

IAIN Tulungagung

e-mail : harta_tatik@yahoo.com

ABSTRAK

Media pembalajaran sekarang ini sangat membantu dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan materi yang disampaikan akan mempermudah peserta didik dalam menangkap hal yang disampaikan oleh guru. Media pembelajaran sangat mudah untuk di capai dan di temukan, banyak media yang sederhana yang justru akan lebih mudah untuk menyampaikan materi.

KATA KUNCI : media pembelajaran, sara pembelajaran

PENDAHULUAN

Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar  sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Batasan ini cukup luas dan mendalam mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran / pelatihan.

Sedangkan menurut Briggs (1977) media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Kemudian menurut National Education Associaton(1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.

PEMBAHASAN

Posisi media pembelajaran.

Oleh karena proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secara optimal. Media pembelajaran adalah komponen integral dari sistem pembelajaran. Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan, penggunaan media pembelajaran seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang membutuhkan media seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh guru dan “audio-visual”

Ada beberapa jenis media pembelajaran, diantaranya :

  1. Media Visual: grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik
  2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
  3. Projected still media: slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya
  4. Projected motion media: film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.

Pada hakikatnya bukan media pembelajaran itu sendiri yang  menentukan hasil  belajar. Ternyata keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan demikian dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan  ketiga faktor tersebut. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal.

Tujuan menggunakan media pembelajaran :

Ada beberapa tujuan menggunakan media pembelajaran, diantaranya yaitu :

–          mempermudah proses belajar-mengajar

–          meningkatkan efisiensi belajar-mengajar

–          menjaga relevansi dengan tujuan belajar

–          membantu konsentrasi mahasiswa

–          Menurut Gagne : Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa untuk belajar

–          Menurut Briggs : Wahana fisik yang mengandung materi instruksional

–          Menurut Schramm : Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional

–          Menurut Y. Miarso : Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar siswa

Tidak diragukan lagi bahwa semua media itu perlu dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam memilih media pembelajaran, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia dapat mengembangkannya secara tepat  dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa untuk menentukan media pembelajaran tersebut.[1]

KESIMPULAN

Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik. Secara umum media pembelajaran adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar  sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar.

DAFTAR RUJUKAN

http://belajarpsikologi.com/pengertian-media-pembelajaran//html

[1] http://belajarpsikologi.com/pengertian-media-pembelajaran/html.29.12.14 pukul 11:30 WIB

ARTIKEL-DASAR KONSEP MEDIA PEMBELAJARAN

DASAR KONSEP MEDIA PEMBELAJARAN

Putri Ayuning Ashari (1725143236)

IAIN Tulungagung

e-mail: putriayu_ashari@yahoo.com

ABSTRAK

Pendidikan merupakan aspek yang penting bagi kehidupan manusia di era sekarang. Tanpa pendidikan manusia tidak akan mendapat banyak pengetahuan dan malah akan semakin tertinggal. Apalagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat ini, menuntut manusia untuk selalu mengikutinya. Dalam artikel ini menjelaskan: pertama, pengertian media pembelajaran itu sendiri, selain itu juga menyebutkan posisi serta fungsi media pembelajaran. Kedua, landasan yang menjadi dasar penggunaan media pembelajaran. Ketiga, karakteristik media yang digunakan dalam pembelajaran.

Kata Kunci: konsep media pembelajaran, fungsi media pembelajaran.

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk memengaruhi peserta didik sehingga mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. Dalam arti lain, pendidikan merupakan pendewasaan peserta didik agar dapat mengembangkan bakat, potensi, dan keterampilan yang dimiliki dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, sudah seharusnya pendidikan didesain guna memberikan pemahaman dan meningkatkan prestasi belajar siswa.

Prestasi belajar siswa di sekolah sering diindikasikan dengan permasalahan belajar dari siswa tersebut dalam memahami materi. Indikasi ini dimungkinkan karena faktor belajar siswa yang kurang efektif, bahkan siswa sendiri tidak merasa termotivasi di dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Akibatnya, siswa kurang atau bahkan tidak memahami materi yang bersifat sukar yang telah diberikan oleh guru tersebut.

Kecenderungan pembelajaran yang kurang menarik ini merupakan hal wajar yang dialami oleh guru yang tidak memahami kebutuhan dari siswa tersebut, baik dalam karakteristik maupun dalam pengembangan ilmu. Dalam hal ini, peran seorang guru sebagai pengembang ilmu sangat besar untuk memilih dan melaksanakan pembelajaran yang tepat dan efisien bagi siswa. Jadi, bukan hanya menerapkan pembelajaran yang berbasis konvensional saja. Pembelajaran yang baik ditunjang dari suasana pembelajaran yang kondusif. Selain itu, hubungan komunikasi antar guru dan siswa dapat berjalan dengan baik.[1]

Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, profesionalisme guru tidak cukup hanya dengan kemampuan membelajarkan siswa, tetapi juga harus mampu mengelola informasi dan lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa. Konsep lingkungan meliputi tempat belajar, metode, media, sistem penilaian, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengemas pembelajaran dan mengatur bimbingan belajar sehingga memudahkan siswa untuk belajar.

Dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap proses pembelajaran adalah diperkayanya sumber dan media pembelajaran, seperti buku teks, modul, film, video, televisi, slide, dan web. Guru profesional dituntut mampu memilih dan menggunakan berbagai jenis media pembelajaran yang ada di sekitarnya.

Artikel ini menyajikan ringkasan mengenai definisi, posisi, dan fungsi media pembelajaran; landasan penggunaan media pembelajaran; serta karakteristik media pembelajaran dua dan tiga dimensi.[2]

PEMBAHASAN

Definisi, Posisi, dan Fungsi Media Pembelajaran

Definisi Media Pembelajaran

Kata media merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang artinya perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim ke penerima. Pada hakekatnya, proses belajar mengajar adalah proses komunikasi penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi atau ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik secara verbal (kata-kata dan tulisan) maupun nonverbal. Jadi, media pembelajaran merupakan sarana perantara dalam proses pembelajaran.[3]

Menurut Kemp dan Dayton, manfaat media pembelajaran, yaitu (1) penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar, (2) pembelajaran menjadi lebih menarik dan interaktif dengan menerapkan teri belajar, (3) waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek, (4) kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan, (5) proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun saat diperlukan, (6) sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan, (7) peran guru mengalami perubahan ke arah yang positif.

Karakteristik dan kemampuan masing-masing media perlu diperhatikan oleh guru agar mereka dapat memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Sebagai contoh media kaset audio merupakan media auditif yang mengajarkan topik-topik pembelajaran yang bersifat verbal seperti pengucapan bahasa asing. Untuk pengajaran bahasa asing media ini tergolong tepat karena jika secara langsung diberikan tanpa media sering terjadi ketidaktepatan dalam pengucapan dan pengulangan.[4]

Posisi Media Pembelajaran

Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secara optimal. Media pembelajaran adalah komponen integral dari sistem pembelajaran.[5]

Fungsi Media Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran, media memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari sumber (guru) menuju penerima (siswa). Adapun metode adalah prosedur untuk membantu siswa dalam menerima dan mengolah informasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Secara rinci, fungsi media pembelajaran adalah sebagai berikut (1) menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Misalnya, dengan perantara gambar, potret, slide, film, dan video, (2) mendengar suara yang sukar ditangkap dengan telinga secara langsung. Misalnya, rekaman suara denyut jantung, (3) mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk didekati. Misalnya, mengamati pelangi, gunung meletus, dan pertempuran dengan film atau video, (4) mudah membandingkan sesuatu. Misalnya, dengan bantuan gambar, model, ataupun foto siswa dapat membandingkan dua buah benda yang berbeda sifat ukuran, warna, dan sebagainya, (5) dapat belajar sesuai dengan kemampuan, minat, dan temponya masing-masing. Dengan modul atau pengajaran siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan, kesempatan, dan kecepatan mereka masing-masing.[6]

Landasan Penggunaan Media Pembelajaran

Landasan Filosofis

Ada suatu pandangan bahwa dengan digunakannya berbagai jenis media hasil teknologi baru di dalam kelas akan berakibat proses pembelajaran yang kurang manusiawi (dehumanisasi). Sebenarnya, pandangan tersebut tidak perlu muncul, yang penting bagaimana pandangan guru terhadap siswa dalam proses pembelajaran. Jika guru menganggap siswa sebagai anak manusia yang memiliki kepribadian, harga diri, motivasi, dan memiliki kemampuan pribadi yang berbeda dengan yang lain maka baik menggunakan media hasil teknologi baru maupun tidak, proses pembelajaran yang dilakukan harus tetap menggunakan pendekatan humanis.

Landasan Psikologis

Dengan memerhatikan keberagaman dan keunikan proses belajar, ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat memengaruhi hasil belajar. Oleh karena itu, di samping memerhatikan keberagaman dan keunikan proses belajar, memahami makna persepsi faktor-faktor yang[7] berpengaruh terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan (1) diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa dan memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, (2) bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa.[8]

Landasan Teknologis

Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktik perancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, serta penilaian proses dan sumber belajar. Jadi, teknologi pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan mslah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan yang terkontrol.

Dalam teknologi pembelajaran, pemecahan masalah dilakukan dalam bentuk: kesatuan komponen-komponen sistem pembelajaran yang telah disusun dalam fungsi desain atau seleksi dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem pembelajaran yang lengkap.[9]

Landasan Empiris

Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik belajar siswa dalam menentukan hasil belajar siswa. Artinya, siswa akan mendapat keuntungan yang signifikan jika ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik, tipe atau gaya belajarnya. Misalnya, siswa yang memiliki tipe belajar visual akan lebih memperoleh keuntungan jika pembelajaran menggunakan media visual, seperti gambar, diagram, video, dan film. Sementara siswa yang memiliki tipe belajar auditif akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman, suara, atau ceramah guru. Akan lebih tepat dan menguntungkan siswa dari kedua tipe belajar tersebut jika menggunakan media audio-visual.

Berdasarkan landasan rasional empiris tersebut, pemilihan media pembelajaran hendaknya jangan atas dasar kesukaan guru. Akan tetapi harus mempertimbangkan kesesuaian antara karakteristik siswa , materi pelajaran, dan media itu sendiri.[10]

Karakteristik Media Pembelajaran Dua Dimensi

Media dua dimensi adalah sebutan umum untuk alat peraga yang hanya memiliki ukuran panjang dan lebar yang berada pada satu bidang datar. Media pembelajaran dua dimensi meliputi grafis (terdiri atas sketsa, gambar, grafik, bagan, poster, kartun dan karikatur, dan peta datar), media bentuk papan (terdiri atas papan tulis, papan flanel, papan tempel, dan papan magnet), dan media cetak yang penampilan isinya tergolong dua dimensi (seperti buku pelajaran, surat kabar dan majalah, ensiklopedi, buku suplemen, dan pengajaran terpogram).[11]

Karakteristik Media Pembelajaran Tiga Dimensi

Media tiga dimensi adalah sekelompok media tanpa proyeksi yang penyajiannya secara visual tiga dimensional. Kelompok media ini dapat berwujud sebagai benda asli, baik hidup maupun mati dan dapat pula berwujud sebagai tiruan yang mewakili aslinya. Misalnya, globe, peta timbul, dan boneka.[12]

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, media pembelajaran merupakan sarana perantara dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran haruslah bermanfaat bagi guru dan terutama bagi siswa itu sendiri. Oleh karena itu, posisi media pembelajaran cukuplah penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, proses pembelajaran tidak akan maksimal dan tidak akan berhasil.

Kedua, landasan-landasan yang digunakan dalam penggunaan media pembelajaran adalah landasan filosofis, landasan, psikologis, landasan teknologis, dan landasan empiris. Ke-empat landasan tersebut sangat erat kaitannya dengan proses penggunaan media pembelajaran.

Ketiga, karakteristik media pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran meliputi dua dan tiga dimensi. Penggunaannya tergantung pada bidang studi yang dipelajari.

DAFTAR RUJUKAN

Daryanto. 2010. Media pembelajaran. Bandung: Satu Nusa.

[1] Daryanto, Media Pembelajaran (Bandung: Satu Nusa, 2010), hlm.1-2.

[2] Ibid., hlm. 3.

[3] Ibid., hlm. 4-5.

[4] Ibid., hlm. 5-6.

[5] Ibid., hlm. 6.

[6] Ibid., hlm. 8-11.

[7] Ibid., hlm. 12.

[8] Ibid., hlm. 13.

[9] Ibid., hlm. 15.

[10] Ibid., hlm. 16.

[11] Ibid., hlm. 18.

[12] Ibid., hlm. 29.

ARTIKEL-Dedaktik Metodik Agama Islam ( DMAI )

UmiChofshoh
IAIN Tulungagung
e-mail: umichofshoh@gmail.com

ABSTRACT
Di dalamartikelinimenjelaskantentanghal-hal yang diperlukandalam proses pembelajaransebagaiupayauntukmemperlancar proses penyebaran agama Islam sebagaimana yang diharapkanNabi Muhammad SAW. dalambidangilmupengetahuan. Hal-hal yang diperlukandiantaranya, Pertamaadalahmengetahuiapamaknadedaktikdanapasaja yang tercakup di dalamhaltersebut. Kedua, adalahmetodik yang didalamnyaterdapatmetode-metode yang dapatdigunakansebagaipenunjangberjalannya proses belajarmengajar. Jadi, dalam proses pembelajaraninitidakhanya guru yang berperanpentingnamunsiswajugasangatberperanpenting di dalamnya.

PENDAHULUAN
Kewajibanmenyebarkan agama Islam adalahtanggungjawabsetiapmuslimtanpaterkecuali. Hal iniberdampakpadatimbulnyarelatifitaspencapaianhasildarisetiapusahapengembangandakwah Islam di masyarakat.Tidakdapatdipungkiri, bahwaajaran di dunia yang dapatmenjawabkebutuhanhidupmanusiatidak lain adalah Islam, yang dibawaolehNabi Muhammad SAW.dari Allah SWT. Akan tetapi, karenabeliautelahwafatmengharuskanseluruhumat yang ditinggaluntukberupayamelestarikan, menjaga, danmengembangkanajarantersebut.
Untukmelakukanupayatersebutdiperlukancaratertentu yang dapatmemperlancar proses penyebaran agama Islam sebagaimana yang diharapkanolehNabi Muhammad SAW. Salah satunyadenganmelaluipersiapanpemahamanterhadapcaramengajardanmendidiktentangajaran Islam kepadamasyarakatsecaraefektif.Untukmengatasikeadaantersebutperludiupayakanpeningkatanpemahamankeilmuanterhadappentingnyakebersamaandalambertindak.
Di dalam DMAI iniakanmembahastentanghal-hal yang diperlukandalam proses pembelajaran. Denganadanyaartikelinidiharapkankitadapatmengetahuipersiapan-persiapanapasaja yang perludilaksanakan agar proses penyampaianinformasidapatberjalansecraefektif.
KAJIAN TEORI
Dedaktik
DedaktikberasaldaribahasaYunani “didactico” yang artinyacaramengajar. Didalamdedaktikitusendirimencakupempathal.Pertama, tujuanmengajar, yaitu target perolehanpengetahuan yang diharapkanolehpenyelenggarapembelajaran.Kedua, proses belajar, yaitustrategi yang digunakanuntukmencapaitujuan yang telahdisepakati.Ketiga, metodepembelajaran, yaituberbagaicarapenyampaianpembelajaranagramudahditerimaolehmurid. Keempat, faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaituproporsionalitassaranapenunjang yang ada.
Dengan kata laindalambelajarmengajarseorangpendidiktidakhanyadituntutmenanamkanpengetahuandankecakapankepadaanakdidiktetapijugamendorongterjadinya proses belajarmengajar. Jikamengajardipahamisebagaikegiatanmenstransferilmusaja, makamengajaritusendirihanyaakanterbataspadapenyampaianilmusaja. Apabilahalinidilakukanakanmembuat proses pengajaranmembosankan, karenadalampembelajaran guru yang lebihmendominasidanmuridhanyasebagaipendengar.
Metodik
Metodikmengandungartiilmucaramengajar yang harusdilaksanakanuntuktiap-tiapbidangstudi. Denganmengetahuicaramengajartiap-tiapmateridiharapkan proses penyampaianinformasidapatberjalandengancepatdantepat. Ada beberapametodedalammengajar yang dapatdigunakansecarabergantiandalamsatu kali pertemuan, yaitu:
1. Ceramah, yaitupenyampaianbahanpengajaranmelaluilisan.
2. Tanya jawab, yaitupenyampaiandengancarakomunikasiimbalbalik.
3. Diskusi, yaitukegiatantukarmenukarinformasi, pendapattertentusecarateratur.
4. Demonstrasidaneksperimen, yaitu proses belajardenganjalanmenunjukkan proses terjadinyasuatukejadian.
5. Tugasbelajar, yaitupenyajianinformasidenganjalanmemberikantugas yang harusdikerjakandandinilaihasilnya.
6. Kerjakelompok, yaitupembentukankelompokkerjadalam proses belajar.
7. Sosiodrama / role playing, yaitumendramatisasikantingkahlakudalamhubungannyadenganmasalahsosial.
8. Pemecahanmasalah, yaitu proses untukmerangsanganakdalamberfikir.
9. Sistemregu, yaituadanyadua orang ataulebihpendidikdalamsatukelas.
10. Karyawisata, yaitukunjunganluarkelasdalamrangkabelajar.
11. Manusiasumber, yaitumendatangkan orang luaruntukdijadikannarasumber.
12. Surveimasyarakat, yaitumemperolehinformasidarihasilobsevasi.
13. Simulasi, yaitutiruan yang digunakanuntukmenjelaskansuatubahanpelajaran.

Denganadanyametode yang sudahdipersiapkan, makasegalasesuatunya yang akanterjadidalam proses pembelajarandapatdiminimalisirdantentunyamengharapkanhasil yang semaksimalmungkindalam proses pembelajarantersebut.Keterampilan, kebiasaan, danwawasan guru tentangduniapendidikansertamisinyadalammendidik pun menjadihal yang tidakkalahpenting.Dalamhaliniaktifitasanakjugasangatdibutuhkan.

SIMPULAN
Berdasarkanuraiandiatas, penulismenarikkesimpulanbahwa, hakekatmengajaritumerupakanusaha guru menciptakandanmendesain proses belajarpadasiswa. Jadi, yang terpentingdalambelajarmengajaritubukanlahbahan yang disampaikan guru, namun proses siswadalammempelajaribahan yang diajarkantersebut. Menurut William Burton, belajarmengajarialahsuatukegiatanmembimbingsiswadalamkegiatanbelajarnya, sehinggasiswamaubelajar. Jadi, guru yang professional ialah guru yang dapatmelakukantugasmengajarnyadenganbaikmelaluiketerampilan-keterampilankhusus agar terciptasebuahpembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, danmenyenangkan.

DAFTAR RUJUKAN
UzerUsman, Muhammad. 1994. Menjadi Guru yang Baik. Bandung: RemajaRosdaKarya.
Al-maududi, Abu A’la. 1991. Prinsip-prinsip Islam (Translation). Bandung: Al-Ma’arif.
P. Janssen, Prof. Dr. 1970. Tekhnik-tekhnikPengembanganMasyarakat (Translation). Malang: Intitute Pembangunan Masyarakat.

ARTIKEL-PEMBUATAN MEDIA VIDEO DALAM PEMBELAJARAN

PEMBUATAN MEDIA VIDEO DALAM PEMBELAJARAN

Septy Siti Mustainah (1725143269)

IAIN Tulungagung

e-mail : septy_siti@yahoo.com

ABSTRACT

Kesulitan-kesulitan penyampaian dalam proses pembelajaran yang memaksa para pemikir muda untuk mencari titik temunya. Wacana mengenai media pembelajaran yang menggunakan media video ini akan membantu kita menjawab permasalahan yang ada. Media pembelajaran yang menggunakan media video ini memanglah menguntungkan dalam proses pembelajaran bagi siswa dan guru. Guru akan lebih mudah menyampaikan maksud pembelajarannya dan lebih ringan dalam pengondisian siswanya. Media pembelajaran dengan video ini selain mempunyai keuntungan yang demikian juga mempunyai beberapa kekurangan kerena membutuhkan beberapa proses yang panjang dalam pembuatannya. Proses dala pembuatan video ini memerlukan keahlian yang khusus juga, untuk mendapatkan hal yang memuaskan.

Kata Kunci : Media Pembelajaran, media video

PENDAHULUAN

            Film tidak di buat tanpa ada acuan pokoknya, yaitu naskah. Sebuah naskah video yang lengkap harus memuat semua informasi audio dan video yang mentransformasikan kata-kata tertulis menjadi bunyi dan gambar elektronik. Informasi tersebut penting supaya semua tim yang terlibat dalam pembuatan atau produksi film video tersebut dapat bekerja dengan acuan yang jelas sehingga menghasilkan produk yang benar-benar di kehendaki. Dengan informasi yang jelas dan lengkap, setiap anggota tim tau apa yang harus di lakukan.

            Penulisan naskah film pembelajaran pada hakekatnya merupakan perpaduan antara pemaparan imajinatif, factual, dan teknis. Dikatakan imajinatif karena seorang penulis naskah harus memiliki kemampuan untuk memaparkan sesuatu secara khayal. Factual karena imajinasi tersebut berisi informasi-informasi atau materi pelajaran yang akan disampaikan pada peserta didik. Teknik karena seorang penulisan naskah berdasar pada karakteristik audiens atau dalam hal ini karakteristik peserta didiknya serta materi dan kompetensi dasar yang harus di capai. Selain itu, seorang penulis naskah mempunyai kemampuan dalam memahami istilah-istilah penting yang berkaitan dengan produksi film.[1]

PEMBAHASAN

Pengenalan Media Pembelajaran dan Karakteristik Media Video

            Video merupakan suatau medium yang sangat efektif untuk membantu proses pembelajaran, baik untuk pembelajaran masal, individual, maupun berkelompok. Pada pembelajaran yang bersifat masal, manfaat kaset video sangat nyata.

            Video juga merupakan bahan ajar noncetak yang kaya informasi dan tutas karena dapat sampai ke hadapan siswa secara langsung. Di samping itu, video menambah suatu dimensi baru terhadap pembelajaran. Hal ini karena karakteristik teknologi video yang dapat menyampaikan gambar bergerak kepada siswa, di samping suara yang menyertainya.

            Media video adalah segala sesuatau yang memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak secara sekuensial. Program video dapat dimanfaatkan dalam program pembelajaran karena dapat memberikan pengalaman yang tidak terduga kepada siswa.

            Kemajuan teknologi video juga telah memungkinkan format sajian video dapat bermacam-macam, mulai dari kaset, CD, dan DVD. Oleh karena itulah, suatu materi yang di rekam dalam bentuk video banyak digunakan, baik dalam bentuk proses pembelajaran tatap muka maupun pembelajaran jarak jauh tanpa kehadiran guru. Karena kemampuan itulah, media seperti ini banyak digunakan dalam proses pembelajaran.

            Terlepas dari segala keuntungan-keuntungan tersebut, video juga mempunyai kelemahan-kelemahan sebagai berikut. (1) Fine details yaitu video jika ditayangkan dalam televise tidak akan dapat menampilkan obyek sampai yang terkecil dengan sempurna. Jadi, dalam menulis naskah sebaiknya tidak menggunakan visualisasi yang terlalu mendetail. (2) Size informationyaitu : video tidak dapat menampilkan obyek dengan ukuran sebenarnya. Oleh karena itu, obyek ditampilkan dengan disertai objek yang lain sebagai pembandingnya. (3) Third dimention yaitu gambar yang diproyeksikan oleh video berbentuk dua dimensi. Sehingga untuk terlihat seperti tiga dimensi diatasi dengan tata cara pengambilan gambarnya. (4) Oppositionyaitu pengambilan yang kurang tepat dapat menyebabkan timbulnya keraguan audien dalam menafsirkan gambar yang di lihatnya. Oleh karena itu, dalam naskah harus tercantum jelas apa yang akan disampaikannya. (5) Setting yaitu penataan gambar pada video yang tidak tepat juga akan membingungkan audien. (6) Material pendukung yaitu video membutuhkan alat proyeksi untuk menampilkan gambar yang ada di dalamnya. (7) Budget yaitu pembuatannya juga membutuhkan biaya yang mahal.

            Media pembelajara visual lebih sering digunakan karena menurut beberapa pendapat media ini dapat menyampaikan pesan dengan lebih menarik, efisien (cepat dan nyata), dan efektif.

Langkah dalam pembuatan naskah video agar tercapai tujuan yang maksimal adalah mendapatkan gagasan suatu naskah yang di dalamnya terdapat ide (pokok pikiran yang menjadi dasar dalam langkah selanjutnya). Ide juga memerlukan visualisasi (keterampilan memvisualkan pokok-pokoknya). Dalam memfisualisasikannya da tiga tahap, yaitu : (1) symbol gambar, diberikan bentuk tiga dimensi. (2) symbol grafis, menggambarkan benda dengan hal yang di inginkan penulis. (3) symbol verbal, memberikan diskripsi bagi benda nyatanya.[2]

Unsure dan Istilah Naskah Video Pembelajaran

            Unsur gambar akan lebih dominan dalam video pembelajaran dari pada unsure suara. Dalam hal ini, unsur gambar yang disertai gerak akan memudahkan siswa dalam memahami apa yang disampaikan.

            Unsure yang ada dalam pembuatan naskah adalah unsure visual, unsure ini mencakup tokoh, setting, properties, lighting atau pencahayaan, dan gerak ; unsure audio, unsure ini ditampilkan dalam gambar yang kurang atau tidak jelas informasinya, seperti suara pemain, sound effect, dan music.

            Istilah dalam video meliputi istilah pengambilan gambar yang meliputi ukuran obyek gambar yaitu, extreme/very long shoot, long shoot, medium shoot, close up, extreme close up, one shoot, two shoot, multi shoot, caption, dan establishing shoot. Istilah dalam pergerakan kamera meliputi, zoom in, zoom out, fade in, fade out, tilt up, panning, dan dolying.[3]

KESIMPULAN

            Berdasarkan uraian di atas, dapat di tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, wacana mengenai media pembelajaran yang menggunakan media video ini memanglah menguntungkan dalam proses pembelajaran bagi siswa dan guru. Guru akan lebih mudah menyampaikan maksud pembelajarannya dan lebih ringan dalam pengondisian siswanya.

            Kedua, media pembelajaran dengan video ini selain mempunyai keuntungan yang demikian juga mempunyai beberapa kekurangan kerena membutuhkan beberapa proses yang panjang dalam pembuatannya.

            Ketiga, proses dala pembuatan video ini memerlukan keahlian yang khusus juga, untuk mendapatkan hal yang memuaskan.

DAFTAR RUJUKAN

Daryanto, Media Pembelajaran (Bandung : CV. Yrama Widya, 2012).

[1] Daryanto, Media Pembelajaran (Bandung : CV. Yrama Widya, 2012), hal.84

[2] Ibid, hal.86

[3] Ibid, hlm.93

ARTIKEL-PENCARIAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK JATI DIRI PENDIDIKAN NASIONAL

PENCARIAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK JATI DIRI PENDIDIKAN NASIONAL

Wahyu Istifadah

e-mail: valiant_error77@yahoo.co.id

ABSTRAK

Sejarah pedidikan masa lampau merupakan bahan introspeksi bagi pendidikan nasional di masa depan. Dengan meninjau sejarah pendidikan di masa depan, kita akan mampu menghadapi tantangan-tantangan pendidikan di masa depan. Tantangan tersebut akan mampu dipecahkan dengan penerapan paradigma yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Sehingga dengan penerapan paradigma yang sesuai, pendidikan nasional tidak lagi terombang-ambing dengan kebijakan pemerintah yang sering mengganti-ganti sistem pendidikan.

Kata kunci: sejarah pendidikan masa lampau, tantangan pendidikan masa depan, paradigma baru

PENDAHULUAN

            Kebijakan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum yang diberlakukan pada pendidikan sering mendapat kecaman keras dari berbagai pihak. Setiap kebijakan yang telah ditetapkan pasti akan mengandung unsur pro dan kontra. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi kebijakan tersebut pada publik dan komunikasi yang buruk antara aparatur-aparatur pemerintahnya.

            Setiap kebijakan atau peraturan yang telah ditetapkan tentunya bukan karena tanpa alasan, melainkan telah dipertimbangkan demi perbaikan pendidikan dan menuju pendidikan nasional yang lebih maju. Akan tetapi, kebijakan tersebut dinilai negatif dan malah hanya akan membawa kemerosotan pendidikan nasional. Pembaruan pendidikan tidak mungkin terjadi tanpa adanya pembaruan paradigma. Pembaruan paradigma pendidikan nasional harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya generasi bangsa Indonesia yang bersatu dan demokratis.

            Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan dan penyusunan kurikulum yang sentralistik harus diubah dan disesuaikan dengan tuntutan pendidikan yang demokratis. Demikian pula dalam menghadapi globalisasi, maka proses pendidikan haruslah dapat meningkatkan kemampuan berkompetisi di dalam kerja sama, inovatif, dan meningkatkan kualitas. Oleh sebab itu, paradigma baru pendidikan nasional sering berganti-ganti sebelum memberikan dampak yang penting bagi pendidikan.

Dengan demikian, paradigma baru pendidikan nasional haruslah dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut dapat dijabarkan dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan. Kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasi kemajuan ke masa depan itu adalah dapat melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang memiliki moral yang tinggi dan intelektual yang memadai untuk mengenal atau menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Manusia berkualitas yang hendak dilahirkan melalui pendidikan itu, tidak mungkin terealisasikan jika pendidikan kita masih berorientasi pada nilai akademik saja, tetapi juga berorientasi pada bagaimana seorang peserta didik mampu belajar dari pengalaman lingkungan, dan kehebatan para ilmuwan, sehingga ia bisa mengembangkan potensi intelektualnya. Orientasi pendidikan tersebut di atas tidak dapat terlaksana  jika pendidikan kita tidak memiliki visi yang jelas.

KAJIAN TEORI

Tinjauan Pendidikan Masa Lalu

Kemajuan pendidikan tidak akan terlepas dari kesuksesan masa lalu. Pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif akan melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau (Tilaar: 2). Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi manusia dan diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.

Pada zaman orde lama, praksis pendidikan diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar (Tilaar: 3). Pendidikan difungsikan untuk kebutuhan politik. Pendidikan telah mulai diarahkan kepada pengembangan sikap militerisme yang militant sesuai dengan tuntutan kehidupan di dalam suasana perang dingin. Pendidikan bukan untuk peningkatan kualitas melainkan sebagai alat kekuasaan dalam mencapai tujuan politik.

Lain halnya dengan masa orde baru, pendidikan dijadikan sebagai alat penyeragaman berpikir dan bertindak. Kebijakan dalam bidang pendidikan, di arahkan pada upaya menopang pembangunan dalam bidang ekonomi yang ditopang oleh stabilitas ekonomi dengan pendekatan sentralistik, monoloyalitas, dan monopoli (Abuddin Nata: 332). Pertumbuhan ekonomi dijadikan prioritas utama sehingga mengakibatkan kesenjangan antar-daerah, antar-sektor, dan antar-masyarakat. Hal itulah yang melahirkan suatu sistem pendidikan yang tidak produktif dan tidak mempunyai akuntabilitas sosial karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam manajemennya. Pendidikan semakin lama semakin terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi hasil karya birokrasi. Selanjutnya peranan keluarga dan masyarakat terlepas dari praksis pendidikan.

Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, pendidikan pada masa reformasi ini lebih baik dari masa sebelumnya. Pada masa ini mulai diselenggarakan sekolah bertaraf nasional (SBN), internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana, menejemen pengelolaan, evaluasi dan lainnya harus berstandar nasional dan internasional. Pada masa ini juga dicanangkan kewajiban belajar 9 tahun, yaitu minimal harus lulus pendidikan SLTP. Kebijakan wajib belajar 9 tahun tersebut juga ditunjang dengan adanya BOS (Biaya Operasional Sekolah) sehingga sekolah-sekolah tidak lagi memungut biaya oprasional pendidikan kepada siswa.

Tantangan Pendidikan Nasional Masa Depan

Memasuki zaman yang serba krisis ini, dengan pengalaman-pengalaman masa lalu yang panjang, maka pertanyaan yang kini muncul ialah apakah fungsi pendidikan nasional di dalam menghadapi tantangan masa depan?. Pertama-tama tentunya perlu adanya kesepakatan bersama mengenai bentuk masyarakat Indonesia baru yang ingin kita bangun. Masyarakat yang kita inginkan ialah suatu masyarakat yang adil-makmur dengan supremasi hukum (Tilaar: 7). Masyarakat itu ialah “masyarakat madani”. Masyarakat madani adalah bentuk yang ideal dari suatu masyarakat demokratis yang harus bertitik tolak dari pandangan kita mengenai masyarakat dan kebudayaan Indonesia.

Masyarakat ini memiliki kesadaran yang tinggi akan HAM. Dalam suatu masyarakat madani perlu adanya keseimbangan yang dinamis antara tatanan sosial dan otonomi individu. Masyarkat madani yang ingin kita wujudkan melalui pendidikan nasional haruslah mengembangkan ciri-ciri dan unsur-unsur mayarakat.

Kedua, tantangan yang akan dihadapi adalah tantangan internal. Tantangan-tantangan tersebut berasal dari dalam antara lain sebagai warisan kebijakan-kebijakan pendidikan masa lalu. Tantangan-tantangan internal tersebut meliputi: (1) masalah kesatuan bangsa, (2) demokratisasi pendidikan, (3) desentralisasi manajemen pendidikan, dan (4) kualitas pendidikan (Tilaar: 13).

Tantangan yang Ketiga adalah tantangan global. System pendidikan nasional kita tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan dan peluang kehidupan global. Tantangan tersebut meliputi: (1) pendidikan yang kompetitif dan inovatif, dan (2) identitas kebudayaan bangsa berdasarkan kebhinekaan.

 

Paradigma Baru Pendidikan Nasional

            Pembaruan pendidikan tidak mungkin terjadi tanpa adanya pembaruan paradigma. Pembaruan paradigma pendidikan nasional harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya generasi bangsa Indonesia yang bersatu dan demokratis. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan dan penyusunan kurikulum yang sentralistik harus diubah dan disesuaikan dengan tuntutan pendidikan yang demokratis (Tilaar: 19). Oleh sebab itu, paradigma baru pendidikan nasional dapat mengembangkan kebhinekaan menuju satu masyarakat Indonesia yang bersatu dan demokratis.

            Membentuk masyarakat Indonesia baru yang unggul dalam akademik tentunya memerlukan berbagai paradigma baru. Pendidikan itu dinamis seiring berkembangnya zaman, maka dari itu kurikulum yang berlaku dalam pendidikan harus disesuaikan agar mampu mengimbanginya. Dengan demikian, paradigma baru pendidikan nasional haruslah dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut dapat dijabarkan dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.

            Kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasi kemajuan ke masa depan itu adalah dapat melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas. Manusia berkualitas yang hendak dilahirkan melalui pendidikan itu, tidak mungkin terealisasikan jika pendidikan kita masih berorientasi pada nilai akademik saja, tetapi juga berorientasi pada bagaimana seorang peserta didik mampu belajar dari pengalaman lingkungan, dan kehebatan para ilmuwan, sehingga ia bisa mengembangkan potensi intelektualnya. Orientasi pendidikan tersebut di atas tidak dapat terlaksana  jika pendidikan kita tidak memiliki visi yang jelas.

            Empat visi pendidikan yang harus diterapkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas. Pertama, kita hendaknya mengubah paradigma teaching menjadi learning (mengajar menjadi belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut siswa, tetapi pebelajar. Jadi peserta didik belajar menyatakan pendapatnya dengan kritis atau bagaimana ia berpikir (learning to think).

            Kedua, belajar untuk berbuat (learning to do). Jadi target yang ingin dicapai adalah keterampilan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah (how to solve the problem). Ketiga, belajar hidup bersama (learning to live together). Jadi, pendidikan berorientasi pada pembentukan peserta didik yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat yang terdiri atas  berbagai latar belakang sosial. Di sinilah peserta didik diarahkan untuk mengenal nilai-nilai seperti, HAM, perdamaian, toleransi, dan pelestarian lingkungan hidup.

            Keempat, belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Visi ini beorientasi pada usaha untuk menghasilkan manusia yang mandiri, memiliki harga diri, dan tidak hanya mengharapkan materi dan kedudukan. Kelima, metode pengajaran harus membentuk suasana yang mengaktifkan potensi emosional, agar otak kanan terbuka sehingga daya pikir intuitif dan holistik dapat terangsang untuk belajar.

 

Daftar Rujukan

Tilaar. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Nata, Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Danim, Sudarwan. 2008. Visi Baru Manajemen Sekolah, 2008, Jakarta: Bumi Aksara

Rukiati, Enung. 2008. Sejarah Pendidikan Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia

ARTIKEL-REVITALISASI PENDIDIKAN BERBASIS MORAL

ARTIKEL

REVITALISASI PENDIDIKAN BERBASIS MORAL

Nushrotuddiniyah

Tutut_dini@yahoo.co.id

ABSTRACK

Pendidikan diakui sebagai solusi alternatif dalam menumbuh kembangkan potensi dan skiil anak didik agar menjadi generasi siap pakai dan mampu menghadapi segala tantangan yang menyangkut perubahan sosial dalam keidupan masyarakat. Sebagai generasi penerus bangsa, anak didik diharapkan mampu mengoptimalkan segenap potensi fitrahnya untuk melakukan gerakan revolusioner bagi kemajuan bangsa ke depan. Gerakan revolsioner ini bisa tercapai apabila anak didik tidak terjebak dengan gempuran modernitas yang membawa perubahan dan warna lain yang mengancam moralitas anak bangsa secara keseluruhan.

Kata kunci: guru, siswa, masyarakat, pemerintah, orang tua siswa

PENDAHULUAN

Belakangan ini, persoalan demi persoalan selalu menghiasi wajah dunia pendidikan kita. Persoalan itu muncul akibat lemahnya komitmen pemerintahan dalam mengelola sistem pendidikan yang benar-benar memberikan perubahan terhadap tingkah laku dan kepribadian bagi anak didik di sekolah. Tidak jarang bila sering terjadi tawuran antarpelajar yang menyebabkan kerugian mendasar bagi dunia pendidikan yang pada hakikatnya mempunyai tanggung jawab.

Lemahnya pembinanaan tersebut menyebabkan adanya kepincangan dan ketidakseimbangan dalam membangun kepribadian dan kecerdasan anak didik sehinnga makin menambah persoalan baru dalam dunia pendidikan. Adanya kepincangan dalam membangun karakter anak didik secara tidak langsung berimplikasi pada kegagalan pendidikan yang semakin mengalami penurunan secara signifikan. Masalah-masalah mendasar, seperti pemerataan pendidikan, kesejahteraan guru, perbaikn gedung sekolah, dan pembiayaan pendidikan turut serta menjadi faktor kegagalan pendidikan dalam mencerdaskan bangsa secara keseluruhan.

Pendidikan bagi generasi merupakan jalan satu-satunya untuk mencapai kesuksesan dan kemajuan dalam mengelola peradaban yang lebih gemilang. Aplikasi pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk memecahkan probematika bangs yang menghiasi kehidupan modern sejrang ini. Dalam menghadapi tantangan modernisasi, tuntutan terhadap kemajuan pendidikan menjadi sangat mendesak untuk digalakkan mengingat peranan penting pendidikan masih dianggap strategis dalam membina tuns-tunas ngsa agar mampu mengelola sumber daya alam indonesia demi kesejahteran masyarakat secara luas. Tidak heran bila pendidikan diyakini memelikiperanan signifikan dalam menumbuhkan kembangkan potensi dan skill anak didik kearah yang lebih menjajikan.

Pendidikan sejatinya, harus mempuyai diversifikasi untuk memberikan motivasi kepada anak didik dalam melkukan proses aaktualisasi dem menumbukan semngat kedewasaan yan pada giliranny akan membawa mereka pada integritas memajukan pendidikan yang meemenuhi tuntutan zaman an tantanan masa depan. Di situlah letak signifikansi dan urgensi pendidikan dalam upaya peningkatan skill demi memenuhi kebutuhan hidup (life need) dan menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan belakangan ini. Pendidikan pada tatanan yang lebih universal dapat memberikan jaminan tumbuhnya semnagat nasionalisme yang mungkin tercipta melalui kepedulian terhadap kemajuan pendidikan dan masa depan generasi muda yang menjadi harapan banga. Dengan komitmen ini, pendidikan di masa mendatang dapat memaksimalkan dengan menumbukan optilisasi wacana keilmuwan yang bermuatan kecerdasan dan pembentukan keribadian dalam jiwa anak didik di lembaga-lembaga sekolah.

Selain itu, pemberdayaan pendidikan yang membebaskan sangat dibutuhkan dalam kerangka memberikan keleluasan kepada anak didik dari segla bentuk ketertindasan dan penidasan yang mengkungkung. Pemberdayaan ini bertujuan untuk membangkitkan gairah pemikiran dan kecerdasan dalam proses pembelajaran melalui active learning yang kesadaran kritis. Menetukan terhadap kesadaaran akan pentingnya pendidikan. Meminjam perkataan Mansour Fakih bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dan pendidikan adalah proses pembangkit.

Kendati demikian, cita-cita luhur bangsa yang menargetkan perkembangan kecerdasan dan potensi anak didik, tidak boleh sampai melupakan agenda pendidikan yang lebih penting, yaitu bagaimana menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan anak. Melihat kondisi demikian, pendidikan akan dihadapkan pada gelombang kehidupan yang traumatis yang menjadi dilemma tersendiri bagi wajah dunia pendidikan kita saat ini. Apalagi dengan kemajuan arus komunikasi dan informasi yang semakin mengalami peningkatan sehingga menuntut dunia pendidikan untuk berupaya semaksimal mungkin demi mengembangkan potensi kreatifitas, kerampilan, dan kepribadian anak didik, terutama menyangkut tiga komponen dasar pendidikan yang merupakan fondasi utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang intergral dalam membentuk kecakapan hidup (life skill), kemampuan (ability), dan nilai-nilai moral (moral values) sebagai pedoman hidup (way of life) dalam mengaplikasikan proses aktualisasi pndidikan yang menjajikan sehingga, anak didik mampu mengembantugas dan tanggung jawabnya dalam merealisasikan agenda pendidikan yang didambakan.

KAJIAN TEORI

Makna Substansial Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral

Dalam era kapital sekarang ini, pendidikan tengah dihadapkan pada satu persoalan yang serba traumatis. Arus komunikasi dan informasi semakin mengalami kemajuan signifikan, menuntut dunia pendidkan untuk berupaya meningkatkan peranannya dalam menumbuhkan potensi kraetifitas, ketrampilan, dan kepribadian anak didik, terutama menyangkut tiga komponen dasar yang merupakan fondasi primordial dalam proses Dalam pembelajaran lembaga disekolah.

Dunia pendidikan revitalisasi menjadi agenda besar yang penting dioptimalisasikan secara integral upaya revitalisasi pendidikan akan berjalan optimal, apabila orientasi, dan signifikansi pendidkan tersebut berbasis nilai-nilai moral (moral values). Kelemahan lembaga pendidikan kita saat ini adalah lebih banyak diimplikasikan oleh keterbatasan dan kekurangan yang diberikan pemerintah dalam memasukkan pelajaran agama di lembaga-lembaga sekolah. Itulah sebabnya, kenapa revitalisasi pendidikan dalam proses pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik.[1]

Moral selalu mengacu pada baik buruk manusia sehingga moral adalah sebagai tolak ukur segi kebaikan manusia. berbasis moral seharusnya dilakukan dengan pendekatan komperehensif, baik komperehensif dalam isi, metode, maupun dalam keseluruhan proses pendidikan. Metode yang digunakan multimetode seperti penanaman nilai, klarifikasi nilai, analisis nilai, dilema moral, maupun pertemuan kelas, penyelenggaraan pendidikan berbasis moral disekolah supaya berjalan dengan baik harus dibuat sebuah program. Dalam melakdas dalam melaksanakan program tersebut, perlu juga menjalin kerjasama dengan orangtua siswa masyarakat. Supaya dapat mencapai tujuan pendidikan berbasis moral yang diinginkan, perlu dibahas peran, fungsi, tugas, dan kewajiban sekolah, orangtua, maupun masyarakat.

Dalam UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa pendidikan menginginkan karakter manusia Indonesia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cerdas dlam kehidupannya. Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya dijabarkan didalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Psal 1 ayat (1) menjabarkan subtansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dn proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan karakter berbasis akhlak dilingkungan sekolah merupakan suatu orgensi tersendiri bagi perkembangan pendidikan kedepan. Itulah sebabnya, penerapan pendidikan karakter berbasis moral menjadi sangat penting dalam perkembangan kepribadian dan keimanan anak didik dilingkungan sekolah. Pembentukan kepribadian harus menjadi prioritas untuk memberdayakan pendidikan berbasis nilai-nilai moral. Bila kita menghadapi masalah seputar pendidikan moral, masalahnya beran terkutat pada sifat manusia yang bersifat unik terkadang misteri. Pembentukan kepribadian yang menjadi landasan dalam pendidikan islam, sesungguhnya dapat diukur melalui sifat-sifat yang tertanam dalam pribadi anak didik. Pembentukan kepribadian tentu dimulai sejak anak didik sejak kecil. Disebabkan kepribadian menurut teori psikologi merupakan susunan yang unik dari sifat-sifat seseorang yang berlangsung lama.[2]

Secara khusus sudah ada mata pelajaran yang menanamkan nilai, norma, dan moral kepada peserta didik, yaitu mata pelajaran agma dan pendidikan pancasila. Namun demikian, dalam melaksanakan pembelajaran terdapat beberapa kelemahan. Pertama, dalam menanamkan nilai, norma, dan moral hanya transfer of knowledge dengan cara indoktrinasi sehingga peserta didik tidak memiliki system nilai yang diyakini untuk bekal hidup dalam bermasyarakat. Kedua, pendidikan agama ataupun pancasila hanya dianggap sebagai penghias kurikulum atau pelengkap yang dipandang sebelah mata ketiga, kurang penekanan pada praktek dan penanaman nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai, dan toleransi yang mendukung kerukunan antar umat beragama uapaya revitalisasi pendidikan berbasis nilai-nilai moral dapat dimplementasikan, apabila orientasi pendidikan tersebut benar-benar menjadi bekal utama bagi anak didik dalam memproyeksikan kesadaran agama dan moral pada titik yang sama itulah sebabnya, kenapa pendidikan muncul dalam berbagai bentuk sehingga pendidikan pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan alat pembentukan watak, ala pelatihan ketrampilan, serta media untuk meningkatkan vocational skill.

Pendidikan agama bagi anak didik dirasakan sangat penting dalam membentuk dalam kepribadian manusia. Pendidikan agama dan moral harus saling berintegrasi, yang mana pendidikan agama tidak hanya diberikan sebagai pengetauan saja, tetapi pendidikan dikaithidkan dengan kehidupan social dan kemasyarakatan.

Dengan peningkatan spiritual quontien kepada anak didik, upaya menanamkan nilai-nilai moral akan berjalan sesuai rencana. Spiritual quontien merupakan fonadsi utama yang diperlukan untuk mengefektifkan, baik yang intelektual quontien, maupun emotional quotient. Dengan demikian tak berkebihan, kalau spiritual quontien dikatakan sebagai intelegensia yang paling mendasar.[3]

Dalam merealisasikan pendidikan berbasis nilai-nilai moral, di butuhkan adanya interaksi positif antara penerapan pendidikan dengan reaktualisasi metode pendidkan yang dijalankan. Penerapan metode pendidikan harus lebih mengutamakan pembentukan kepribadian dari segala penindasan yang menyimpang.

Pada akhirnya, pendidikan berytujuan untuk memanusiakan manusia sebagai upaya pembentekun pribadi manusia seutuhnya. Pendidkan yang memuat nilai-nilai moral yang menjadi problem solfing dari segala persoalan yang menginpit dunia pendidikan kita sehingga dengan reaktualisasi ini, potret buram pendidikan akan kembali cerah dan berkualitas.

BAGIAN INTI

Pendidikan karakter berbasis akhlak dilingkungan sekolah merupakan suatu orgensi tersendiri bagi perkembangan pendidikan kedepan. Itulah sebabnya, penerapan pendidikan karakter berbasis moral menjadi sangat penting dalam perkembangan kepribadian dan keimanan anak didik dilingkungan sekolah. Pembentukan kepribadian harus menjadi prioritas untuk memberdayakan pendidikan berbasis nilai-nilai moral. Bila kita menghadapi masalah seputar pendidikan moral, masalahnya beran terkutat pada sifat manusia yang bersifat unik terkadang misteri. Pembentukan kepribadian yang menjadi landasan dalam pendidikan islam, sesungguhnya dapat diukur melalui sifat-sifat yang tertanam dalam pribadi anak didik. Pembentukan kepribadian tentu dimulai sejak anak didik sejak kecil. Disebabkan kepribadian menurut teori psikologi merupakan susunan yang unik dari sifat-sifat seseorang yang berlangsung lama

Dalam UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa pendidikan menginginkan karakter manusia Indonesia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cerdas dlam kehidupannya. Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya dijabarkan didalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Psal 1 ayat (1) menjabarkan subtansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

KESIMPULAN

Dalam dunia pendidikan moral sangat penting untuk diterapkan disekolah, dirumah, dan di lingkungan. Fenomena saat ini pendidikan moral dan karakter anak bangsa mulai luntur karena pengaruh budaya barat. Maka dari itu pemerintah dan guru menyisipkan nilai-nilai moral dalam setiap mata pelajaran dan kegiatan pembelajaran. Selain pemerintah dan guru, orangtua harus menanamkan nilai-nilai moral dan karakter sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA

Ilahi Muhammad Takdir. 2012. Revitalisasi pendidikan berbasis moral. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

[1] Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hm.178

[2] Ibid., 190

[3] Ibid., 204

ARTIKEL-CARA PENGEMBANGAN BELAJAR SISWA AKTIF DI SEKOLAH DASAR

CARA PENGEMBANGAN BELAJAR SISWA AKTIF DI SEKOLAH DASAR

Rosida Irmawati

IAIN Tulungagung

e-mail: rosidairmawati@gmail.com

ABSTAK

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui tentang cara pengembangan belajar siswa aktif. Karena keterampilan proses sebagai mana telah ditemukan adalah suatu pendekatan kegiatan belajar-mengajar dalam rangka mengaktifkan murid untuk mengembangkan segenap ranah dan pribadinya. Dan hal itu tidak mungkin dilakukan dengan menjelajahi murid dengan sekedar menerima informasi serta menghafal sejumlah pengetahuan. Agar mereka menguasai, terlatih, dan menghayati materi pengetahuan.

KATA KUNCI: pengembangan, Siswa, aktif, belajar

PENDAHULUAN:

Dalam proses pendidikan Cara Pengembangan Belajar Siswa Aktif di Sekolah Dasar. Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan.

Dalam CBSA, kegiatan belajar diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti: mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu, menulis laporan, memecahkan masalah, memberikan prakarsa/gagasan, menyusun rencana, dan sebagainya- Keaktifan itu da yang dapat diamati dan ada pula yang tidak dapat diamati secara langsung. Setiap kegiatan tersebut menuntut keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam proses pembelajaran melalui asimilasi, dan akomodasi kognitif untuk mengembangkan pengetahuan, tindakan, serta pengalaman langsung dalam rangka membentuk keterampilan (motorik, kognitif dan sosial), penghayatan serta internalisasi nilat-nilai dalam pembentukan sikap (Raka Joni, 1980, h. 2).

Sejak dimunculkannya pendekatan CBSA dalam lingkungan pendidikan ditanah air, konsep CBSA telah mengalami perkembangan yang cukup jauh. Pendekatan CBSA dinilai sebagai suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperole hasil belajar yang bempa perpaduan antara matra kognitif, afekisi. dan psikomotorik, (A. Yasin, 1984,h.24).

Dalam kerangka sistem belajar mengajar, terdapat komponen proses yakni keaktifan fisik, mental, intelektual dan emosional dan komponen produk, yakni hasil belajar berupa keterpaduan aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik Secara lebili rinci komponen produk tersebut mencakup berbagai kemampuan: menamati, menginterprestasikan, meramalkan. mengkaji, menggeneralisasikan, menemukan, mendiskusikan, dan mengkomonikasikan hasil penemuan. Aspek-aspek kemampun tersebut dikembangkan secara terpadu melalui  sistem pembelajaran berdasarkan pendekatan CBSA.

PEMBAHASAN

Agar terciptanya proses belajar mengajar yang efektif, perlu adanya peninjauan mengenai hakikat guru mengajar dan siswa belajar. Konsekuensinya proses belajar mengajar harus berorientasi pada siswa yang belajar. Implikasinya seorang guru harus benar-benar menciptakan suasana belajar sesuai dengan kebutuhan anak. Untuk mendifinisikan pengertian CBSA secara tegas adalah sulit, karena dalam kondisi-kondisi mana pun, baik ditinjau dari perbedaan kurun waktu, sudut pandang teoretis, sasaran serta isi belajar maupun bentuk serta metode belajar seorang siswa pastilah mengandung unsur keaktifan siswa dengan kadar berbeda-beda. [Melvin L. Silberman, 2009: 101]

Pada tahun 1935 Jean Peaget telah menggalakkan belajar aktif. Hakikat CBSA pada dasarnya menunjuk taraf keaktifan belajar siswa yang relatif tinggi, usaha-usaha mengoptimalkan kegiatan belajar siswa, dan kegiatan (aktivitas) belajar siswa tersebut tak sekedar motoris tetapi lebih-lebih keaktifan mental serta emosional. CBSA mengandaikan kegiatan belajar siswa yang berciri : kegiatan kognitif bertaraf tinggi, siswa bergairah belajar (bermotivasi, bersemangat, senang, dan ulet dalam menghadapi tantangan), dan reflektif (mawas diri, memanfaatkan jasa umpan balik, siap untuk mengadakan pembenahan (remidial), dan pengembangan lebih lanjut. Dengan kata lain, CBSA memusatkan pada peranan, inisiatif dan keterlibatan anak didik dalam menetapkan masalah, mencari informasi dan memecahkan masalah.

Pengembangan CBSA ini berpusat pada siswa (humanistik), jadi “ student-centerted” dan mengutamakan perkembangan afektif siswa sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar. Untuk mewujudkan adanya pendekatan pembelajaran yang humanistik, perlu didasarkan asumsi-asumsi, antara lain(1) Siswa akan lebih giat belajar bila harga dirinya dikembangkan sepenuhnya. (2) Siswa yang diturut-sertakan dalam perencanaan dan pelaksanaan pelajaran akan merasa bertanggung jawab atas keberhasilannya. (3) Hasil belajar akan meningkat dalam suasana belajar yang diliputi oleh rasa saling mempercayai, saling mempercayai, saling membantu, saling mempedulikan dan bebas dari ketegangan yang berlebihan. (4) Guru yang berperan sebagai fasilitator belajar memberi tanggung jawab kepada siswa atas kegiatannya belajar dan memupuk siswa positif terhadap “ apa sebab” dan “bagaimana” mereka belajar. (5) Kepedulian siswa akan pelajaran memegang peranan penting dalam penguasaan bahan pelajaran itu. (6) Evaluasi diri bagian penting dalam proses belajar  yang memupuk rasa harga diri.

Keaktifan dalam pendekatan CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, baik intelektual maupun emosional, meskipun untuk merealisasikan dalam banyak hal dipersyaratkan atau dibutuhkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik.

Penerapan dan pendayagunaan konsep CBSA dalam pembelajaran merupakan kebutuhan dan sekaligus sebaga. keharusan dalam kaitannya dengan upaya merealisasikan Sistem Pendidikan Nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang pada gilirannya berimplikasi terhadap sistem pembelajaran yang efektif. [johar permana, 2001: 110]

Siswa peserta didik dipandang dari dua sisi yang berkaitan, yakni sebagai objek pembelajaran dan sebagai subjek yang belajar. Siswa sebagai subjek dipandang sebagai manusia yang potensial sedang berkembang, memiliki keinginan-keinginan-harapan dan tujuan hidup, aspirasi dan motivasi dan berbagai kemungkinan potensi lainnya. Siswa sebagai objek dipandan: sebagai yang memiliki potensi yang perlu dibina, diarahkan dan dikembangkan melalui proses pembelajaran. Karena itu proses pembelajaran harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manusiawi (humanistik), misainya melalm suasana kekeluargaan terbuka dan bergairah serta berpariasi sesuai dengan keadaan perkembangan siswa bersangkutan.

Pelaksanaan proses pembelajaran dititik beratkan pada keaktifan siswa belajar dan keaktifan guru menciptakan lingkungan belajar yang serasi dan menantang. Penerapan CBSA dilakukan dengan cara mengfungsionalisasikan seluruh potensi manusiawi siswa melalui penyediaan lingkungan belajar yang meliputi aspek-aspek bahan pelajaran, guru, media pembelajaran, suasana kelas dan sebagainya. Cara belajar di sesuaikan dengan minat dim pemberian kemudahan kepada siswa untuk memperoleh pemahaman, pendalaman, dan pengendapan sehingga hasil belajar berintemalisasi dengan pribadi siswa. Dalam kondisi ini semua unsur pribadi siswa aktif seperti emosi, perasaan, intelektual, pengindran, fisik dan sebagainya.

CBSA dapat berlangsung dengan efektif, bila guru melaksanakan peran dan fungsinya secara aktif dan kreatif, mendorong dan membantu serta berupaya mempenguruhi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan belajar yang telah ditentukan. Keaktifan guru dilakukan pada tahap-tahap kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pellilaian dan tindak lanjut pembelajaran.Peranan guru bukan sebagai orang yang menuangkan materi pelajaran kepada siswa, melainkan bertindak sebagai pembantu dan pelayanan bagi siswanya. Siswa aktif belajar, sedangkan guru memberikan fasilitas belajar, bantuan dan pelayanan. Beherapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru.

KESIMPULAN:

 

Belajar merupakan suatu proses yang melibatkan manusia secara orang perorang sebagai satu kesatuan organisasi sehingga terjadi perubahan pada pengetaahuan, keterampilan, dan sikapnya. Dengan penerapan CBSA, siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya. Selain itu, siswa diharapkan lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, krisis, tanggap, dan dapat menyelesaikan masalah sehari-hari, serta lebih terampil dalam menggali, menjelajah, mencari, dan mengembangkan informasi yang bermakna baginya. Dengan penerapan CBSA, guru diharapkan bekerja secara professional, mengajar secara sistematis, dan berdasarkan prindip didaktif metodik yang berdaya guna dan verhasil guna (efisien dan efektif). Artinya, guru dapat merekayasa system pembelajaran yang mereka laksanakan secara sistematis, dengan pemikiran mengapa dan bagaimana menyelenggarakan kegiatan pembelajaran aktif. Proses pembelajaran yang optimal terjadi apabila siswa yang belajar maupun guru yang membelajarkan memiliki kesadaran dan kesengajaan terlibat dalam proses pembelajaran. Kadar CBSA bergantung pada dan di pengaruhi oleh keaktifan siswa dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran dan hasil pembelajaran. Keaktifan siswa diharapkan menampak secara nyata terutama pada saat pelaksanaan proses pembelajaran, baik secara perorangan maupun kelompok.

DAFTAR RUJUKAN:

 

Melvin L. Silberman. 2009. Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung : Nusa Media.

Permana, Johar. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : CV Maulana.

No name. 2012. Di unduh dari http://blog.tp.ac.id/pengertian-cbsa pada tanggal 26 Maret 2012.

http://treweluputih.blogspot.com/2012/05/makalah-pengembangan-cbsa-di-sekolah.html.

http://deniprasetyatoeltoel.blogspot.com/2011/09/pendekatan-cbsa-cara-belajar-siswa_25.html